Urang Kanekes 'Suku Baduy Dalam' Sang Penjaga Tradisi Leluhur

baduy dalamBolang Kecil - Diera modern seperti ini hampir semua orang sibuk untuk mencari materi dan hampir melupakan tradisi atau adat istiradat yang manjadi ciri khas dari daerah asal mereka, namun berbeda dengan masyarakat Suku Baduy Dalam yang tetap gigih dan setia menjaga kelestarian budaya serta warisan nenek moyang. Suku Baduy Dalam adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.

Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Sedangkan mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka.

Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Suku Baduy Dalam adalah Bahasa Sunda dialek a–Banten. Namun untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka tetap menggunakan Bahasa Indonesia. Suku Baduy Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung).


warga Baduy Dalam masih memegang teguh adat istiadat nenek moyang mereka.
dalam aplikasi kesetiaan Suku Baduy Dalam menjaga adat istiadat, mereka menerapkan peraturan yang dianut oleh semua anggotanya, antara lain:
Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi, Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki, Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Puun), Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)Menggunakan Kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.


Saat ini ketaatan Suku Baduy Dalam, dalam menjaga tradisi dan warisan nenek moyangnya telah menjadi daya tarik tersendiri bagi banyak orang untuk mengunjungi dan menggali lebih banyak tentang mereka, bahkan terkadang bisa mencapai ratusan pengunjung dalam sekali kunjungan, diantaranya yang paling sering berkunjung kesini adalah siswa, mahasiswa. Walaupun Suku Baduy mengasing dari peradaban mereka selalu menyambut dengan baik setiap pengunjung yang berkunjung ke wilayah mereka, bahkan untuk menginap dengan ketentuan pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.

Baca Juga :

Situs Gunung Padang, Piramida Dari Cianjur
Goa Jatijajar, Lokasi Air Awet Muda
Pulau Komodo, Eksotisme Dari TImur